Selamat Datang di Blog Kami

Blog ini khusus memuat catatan dan kumpulan status Abdullah Isma'ili di facebook

Blog ini merupakan bentuk terima kasih kami (admin) pada abah kami Abdullah Isma'ili

Silakan bertanya pada kami di facebook
1. Safiyah Alifa
2. Syarifah Safinah Alaydrus
3. Yudas Iskandar
4. Evida Zaitun Alkaff
5. Surya Hamidi

lovely family

lovely family
edited by Zakki Assegaf

Rabu, 19 Januari 2011

Menjadi Cerdas melalui Terapi Psikosimetri oleh Bahtera Ismail Nara pada 27 September 2010 jam 5:08

UNTUK menjadikan Albert Einstein cerdas, diperlukan wakti seabad lebih. Dikatakan bahwa, kalau tidak Sigmul Freud, Einstein takut menjadi cerdas.

Jauh sebelumnya, ukuran kecerdasan ada pada "kata-kata". Istilah cerdik-pandai itu memang dinilai dari kata-kata yang berhikmah.

Tapi kemudian, di awal zaman modern, dan merupakan ciri zamannya, bahwa kecerdasan diukur dengan karya. Masih butuh kata-kata juga. Tapa, praktisnya, buatlah suatu karya, lalu berkata-katalah tentang karya itu.

Karya akhirnya berupa seni, dan seni adalah psikologis. Nah, di sinilah Freud berperan. Anda perhatikan bahwa karya-karya fisika awal abad lalu dibuat dulu baru kemudian kata-kata berupa teori menyusul menjelaskan tentang karyanya. Jadi, sebetulnya, kecerdasan adalah definisi subyektif dari orang cerdas itu sendiri.

Anda harus berani untuk mengatakan kecerdasan zaman modern sebagai kecerdasan nisbi. Apa yang diklaim cerdas, setelah waktu berlalu, justru menimbulkan kekecewaan. Terlalu banyak misteri yang dicipta untuk kepentingan kecerdasannya, pada akhirnya ketahuan hanyalah misterisasi dan akhirnya jadi mitos.

***

TAPI ada baiknya, lantaran kecerdasan perlu didefinisikan kembali, maka kita berpeluang membangun kecerdasan baru yang nantinya kita definisikan juga. Jadi, bedanya dengan dulu yang definisinya dibangun terlebih dahulu, maka, pada zaman kita ini, kecerdasan dan definisinya dibangun simultan.

Yang melekat abadi dalam menilai kecerdasan adalah gagasannya yang baru. Nilai lainnya yang kebetulan sangat dibutuhkan pada zaman kita ini adalah solusi terutama atas aneka permasalahan yang ditinggalkan oleh para pendahulu kita.

Perhatikan bahwa akhirnya kita kembali kepada nubuwah. Kecerdasan adalah yang mengandung nubuwah. Jadi, akhirnya, ia kembali ke definisi purba.

***

Bisakah? Dalam kemustahilan adanya nabi, bisakah kita peroleh kecerdasan nubuwah?

Psikosimetri, dengan pendekatannya yang khas, memandang sangat seberhana. Pada zamannya, nabi-nabi dipandang gila oleh para pemandang yang menganggap diri-diri mereka normal.

Orang cerdas di zaman sekarang pun banyak. Mereka pun dipandang gila karena melihat apa yang kita tidak lihat.

Umumnya kita lawan mereka, tapi kenyataan juga bahwa mereka balik menyerang kita dengan keras. Akhirnya kita benci mereka, dan tak segan-segan pula kita teriak "orang gila".

Tidak perlu mereka diperangi, dibenci, diteriakin... Anggaplah orang gila. Yang butuh diterapi untuk sembuh.

Akan tetapi mengatasi kesembuhannya tidak dapat kecuali dengan juga melihat atau mengerti apa yang mereka saksikan.

Anda perlu mencintainya sebagai seorang gila, dan cinta Anda membawa Anda ke dalam pengalaman si gila itu. Cinta. Bukan benci.

Tapi Anda seorang diri tidak berarti apa-apa. Anda perlu kerahkan sebanyak orang untuk bersama Anda mengobati orang-gila itu. Apa daya Anda? Setidaknya berdoa agar orang-orang lain juga jadi gila.

Maksudnya, jadi cerdas tentunya.

Resume:

~Bukanlah ia cerdas tapi ia gila. Maka cintailah ia. Jangan benci ia.

~Mudahkan dengan mendoakan sebanyak mungkin orang lain untuk turut jadi gila. Anda harus berhasrat agar orang lain juga jadi gila. Berdoalah dengan hatimu yang tulus.

Tidak ada komentar: