Selamat Datang di Blog Kami

Blog ini khusus memuat catatan dan kumpulan status Abdullah Isma'ili di facebook

Blog ini merupakan bentuk terima kasih kami (admin) pada abah kami Abdullah Isma'ili

Silakan bertanya pada kami di facebook
1. Safiyah Alifa
2. Syarifah Safinah Alaydrus
3. Yudas Iskandar
4. Evida Zaitun Alkaff
5. Surya Hamidi

lovely family

lovely family
edited by Zakki Assegaf

Senin, 07 Februari 2011

Ayat-ayat Ta'wil Psikosimetri 1-6 :

Ayat-ayat Ta'wil Psikosimetri (1): Basmallah

[1.1] Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

1. Cukuplah "Dengan nama Allah" saja, "bi ismi Allah". Yaitu al-Rahman dan al-Rahim. Maha Pemurah dan Maha Penyayang, atau pun Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

2. Kita akan memahami bi ismi Allah, al-Rahman, dan al-Rahim ini sesuai ayat-ayat selanjutnya. Di sini kita hanya meninjau dari pengalaman psikosimetri manusia.

3. Allah memulai al-Qur'an dengan "bi", awal berbicara dari keadaan mulut ketika diam. Untuk mengucapkan "bi", mulut haruslah ditutup terlebih dahulu. Dari keadaan mati menjadi hidup, atau dalam keadaan sekarat menuju kehidupan. Ucapan "bi" tidak membutuhkan energi kecuali sedikit untuk membuka bibir. Bayi memberikan isyarat membuka bibir untuk diberi minum. Manusia yang kelaparan atau kehausan pun melakukan hal yang sama tanpa butuh tenaga. Dengan "bi", kehidupan dapat dilanjutkan.

4. Ucaplah "bismi". Setelah "bi" yang hanya membutuhkan garakan membuka bibir, maka "bis" membutuhkan hembusan nafas. Allah mengajari kita tentang kehidupan yang kita terlebih dahulu ada, terlebih dahulu dicipta sebelum kita menyadarinya. Ketika kita mulai menyadari bahwa kita hidup, maka kesadaran yang mendahuluinya adalah kita telah berutang akan hidup itu sendiri. Seperti ketika kita menyadari keberadaan kita sebagai anak, maka kita menyadari telah berutang kepada ayah dan ibu kita.

5. Menulis huruf "ba" cukup dengan sepotong garis dan diberi titik di bawahnya. Huruf "ba" dapat berdiri sendiri dengan titik di bawahnya. Huruf "sin" dibentuk dari "beberapa huruf 'ba' tanpa titik".

6. Perhatikan titik pada huruf "ba" itu. Sudah jelas bahwa tanpa titik, ia bukan "ba". Kita dapat mengucap "ba" atau "bi" untuk memulai kehidupan. Bila tanpa titik, maka mulut kita hanya terkatup, dan nafas kita terputus. Seperti itulah huruf "ba" tanpa titik, pertanda kematian yang menyesakkan.

7. Akan tetap, dalam posisi ingin mengucap "ba tanpa titik" itu, kita dapat mengucap huruf "mim". Huruf "mim" membutuhkan bibir terkatup dan nafas keluar-masuk melalui hidung. Gagal mengucap "ba", tapi dapat mengucap "mim". Huruf "mim" menunjukkan inti kehidupan yang bahkan huruf "ba" pun bergantung kepadanya.

8. Peragakan huruf "mim" mati. Pastikan bahwa "mim" mati itulah nafas kehidupan. Ia adalah titik pada huruf "ba" itu sendiri, yang memberikan sedikit energi kepada bibir untuk sedikit membuka katup dan jadilah lafadz "bi".

9. Sebagai titik, maka setiap goresan adalah rangkaian titik. Dan huruf "mim" dimunculkan dari suatu goresan hanya dengan "membesarkan" titiknya itu. Mudahlah difahami bahwa semua huruf dihidupkan oleh "mim" mati.

10. Huruf "sin" dapat diucap apabila kita memiliki nafas, yang artinya dihidupkan juga oleh "mim". Mengucapkan "bis" tidak dapat bertahan lama karena kehabisan nafas. Dengan meneruskan menjadi "bismi" maka nafas yang baru telah kita peroleh. Nafas yang baru ini dapat digunakan untuk menyelesaikan "bismillah".

11. Huruh "ha" di belakang "Allah", yang disebut "ha" dada (atau perut), juga berfungsi seperti huruf "mim" dalam mengambil nafas, dalam hal ini nafas perut yang juga dihasilkan oleh "mim". Ada dua gerakan nafas yang serentak, yaitu udara keluar dari perut sekaligus udara yang masuk dari mulut.

12. Huruf "sin" menunjukkan adanya getaran zahir di ujung mulut. Ia menunjukkan adanya "rahasia" atau "sir" yang dikandung jasad. Di dalam mulut terdapat getaran "ra", itulah yang dikenal dengan "sir".

13. Mengenal huruf "ra" melalui nama-nama al-Rahman dan al-Rahim, yang dimulai dengan penggalan lafadz "rah". Huruf "ha" ini adalah "ha" tenggorokan tercekik. Ia memudahkan kita mengingat adanya "rahasia" dari "ruh" seakan kita mati tercekik, yakni "rah", apabila tidak diteruskan menjadi "rahman" atau "rahim". Kita diingatkan kita bahwa ruh kita hanyalah "sementara" selama masih ada "mim". Apabila "mim" ditiadakan, maka ruh pun tercabut.

14. Terasa berbeda antara "rahman" dan "rahim". Dengan "man", maka "rahman" menunjukan "kehidupan yang terengah-engah", sengsara. Dan menjadi lega dengan "mim" mati pada "him" sehingga menjadi "rahim". Dalam kata-kata vulagar, "rahman" adalah kehidupan yang "sekali dan sesudah itu mati", kehidupan "bis", sedangkan "rahim" adalah harapan hidup yang berlanjut, kehidupan "bismi".

15. Kita ringkaskan bahwa, dengan "bismi" kita dapat mengucap hingga "bismillah", tapi diingatkan bahwa bukanlah "ha" yang menghidupkan, yang mengatur "ruh", melainkan "mim" yang menggerakkan "ruh" dalam al-Rahman dan al-Rahim. Bukanlah Allah yang menghidupkan kita, melainkan al-Rahman dan al-Rahim. Bahkan bukan al-Rahman yang menghidupkan kita melainkan al-Rahim.

16. Dapat pula kita sempatkan diri menghitung-hitung huruf. Huruf "ba" adalah huruf kedua, kita tuliskan dengan angka 2. Ia difahami sebagai "bi" yang artinya "dengan", yang maksudnya ia "dengan pasangannya". Angka dua menunjukkan adanya pasangan. Kita akan memikirkannya sebagai "dipol". Ia memasangkan "sin" dan "mim" membentuk "bismi". Pasangan yang tampak juga adalah Allah dan namaNya dalam "bismillah". Juga pasangan al-Rahman dan al-Rahim.

17. Huruf "sin" adalah angka 12. Dalam hal ini ia menunjukkan "jasad yang mengandung rahasia yang menghidupkannya". Akan kita lihat bahwa angka-12 adalah "bilangan struktur". Huruf "mim" sendiri adalah 24 = 2 x 12. Ia mengandung baik zahir maupun batin, ia dapat hidup tanpa bantuan yang lain.
 
 

Ayat-ayat Ta'wil Psikosimetri (2): Nama di Alam Aj'al

[2.21] Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.

1. Allah memanggil "sesuatu". Tidak jadi masalah apakah dipanggil dengan "al-naas", "manusia", "jelma", atau "men", karena panggilan itu dijelaskan dengan "menciptakanmu" (khalaqakum), seruan yang dapat diganti dengan, "Hai makhluq, sembahlah Khaliqmu..." Kalimat ini diterima akal sekiranya Sang Khaliq mengkehendaki "utang" penciptaan adalah menyembahNya. Jadi, nama yang dapat langsung diterima akal, menurut ayat ini, adalah Khaliq dan makhluq.

2. Nama selanjutnya adalah Rabb yang disembah sebagai Khaliq. Hal yang demikian, sekali lagi, masih memenuhi hukum akal. Akan tetapi mengapa diingatkan lagi dengan firmanNya itu? Yang diserukan adalah "al-naas", yang kelak akan kita lihat sebagai "makhluq pelupa" (yunsa', lupa). Keterlupaan disebabkan oleh ketak-terjagaan, sehingga diakhiri dengan "la'allakum tattaquun" (agar kamu bertaqwa). Terjemahan yang lebih sesuai adalah "agar kamu berada di atas keterjagaan".

[2.22] Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.

3. Kita awali dengan "padahal kamu mengetahui", wa antum ta'lamun. Sebetulnya bukanlah "mengetahui" melainkan "mengalami", yaitu "mengalami di dalam Alam Aj'al, Alam Kejadian, atau Alam Eviden".

4. Kata "ja'ala" (menjadikan) adalah merubah sesuatu (yang terlebih dulu diciptakan) menjadi sesuatu (untuk dimanfaatkan). Bumi itu tidak dialami manusia sebagaimana adanya. Yang dialami hanyalah bumi yang "terhampar dalam presepsi bola". Bumi yang sebenarnya dijadikan sebagai 'bola' dalam Alam Aj'al. Langit juga dijadikan sebagai 'atap' dalam Alam Aj'al.

5. Menjadikan, atau ja'ala, adalah mengizinkan atau meridhai. Bumi disebut al-ardh karena ia diridhaiNya untuk dijandikan hamparan (firaasyan) bagi kehidupan manusia. Diridhai dalam hal ini adalah diizinkan untuk "diinjak" tanpa dihisab sebagai dosa. Akan tetapi manusia mudah mencatatnya sebagai utang kepada Rabbal ardh.

6. Langit atau al-samaa-a dikesankan sebagai atap (binaa-a, menjulang tinggi). Diciptakannya berwarna biru agar menyejukkan mata memandang, ditutupi dengan awan, dihiasi dengan bintang-bintang, semuanya adalah kesan. Padahal langit itu sangat menakutkan.

7. Kata al-samaa-a juga berasal dari kata yang sama dengan "ismi" atau "asma". Bumi disebut al-ardh menunjukkan bahwa ia dapat dikuasai manusia dengan ridhaNya. Manusia dapat memanfaatkannya bukan karena menguasai ilmunya, melainkan hanya karena ridhaNya. Sebaliknya langit sebagai al-samaa-a tidak dikuasai tetapi sekedar diberikan nama atau dinamakan meski sekedar pengalaman belaka. Dalam istilah khas psikosimetri, kedua-duanya dikuasai hanya sebatas simetrisasi, seakan-akan difahami saja. Dan untuk al-samaa-a, ungkapannya adalah "dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit", sebuah ungkapan yang "mengejek" klaim pengetahuan manusia itu sendiri.

8. Dan penggalan ayat "lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu" memberikan petunjuk kepada manusia untuk belajar sehingga sedikit demi sedikit menghapus simetrisasinya dan menggantikan dengan simetri.

9. Penggalan ayat "karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui", disebutkan dengan kalimat yang sama, "fa laa taj'aluu lillahi andaadan", untuk membandingkan dengan yang sebelumnya, "Alladzii ja'ala lakum..." Kata "andaadan" (sekutu-sekutu bagi Allah) berasal dari kata "daana", utang. Maksudnya, "... kamu tahu bahwa kamu tidak berutang kepada mereka melainkan kamu dan mereka berutang kepada Allah..."

10. Kelak akan kita temukan istilah al-diin. Ia seperti al-samaa-a, nama yang dijadikan untuk memudahkan manusia mengenal asma, nama-nama (lain). Al-diin juga adalah nama yang dimudahkan agar manusia mudah mengenal utangnya kepada Allah. Bahkan al-dunya (dunia) disebutkan demikian agar diingat selalu bahwa hidup di dunia adalah berutang.

11. Kalimat "wa antum ta'lamun" (padahal kamu mengetahui) juga mengisyaratkan kuat bahwa pengetahuan yang tidak berasal dariNya, atau pengetahuan sebatas pengalaman di Alam Aj'al, akan membawa kepada sekutu bagiNya.

[2.23] Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.

12. Demikian bahwa al-Qur'an ini mengatakan pada ayat sebelumnya, "dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit" (wa anzala minas samaa-i maa-a). Kalau kamu tidak percaya, toh kamu tidak dapat menemukan yang lain yang melakukan seperti itu. Mudahnya adalah, bahwa Dia juga lah yang menurunkan surat-surat al-Qur'an ini. Maka Dia mempersilahkan kamu membantah dengan membuat surat serupa.

13. Ini memberikan informasi tentang simetri. Tidak banyak yang tahu bahwa pegas dan elektron itu simetri sebagai osilator harmonik. Kalau ingin fahami elektron, atau buktikan elektron, buktikanlah melalui pegas. Kalau ingin buktikan air yang turun dari langit, buktikan melalui menulis surat semisal al-Qur'an. Dalam contoh yang lebih tegas, aku tidak mengenalmu, tapi aku mengenal si fulan yang "simetri" denganmu. Apabila aku dapat membuktikan si fulan "siapa", maka seperti itulah aku buktikan padamu.
 

Ayat-ayat Ta'awil Psikosimetri (3): Nama di Alam Amtsal

Pengantar:

Ada nama di Alam Aj'al, ada juga di Alam Amtsal. Sebelum menuju ke Alam Amtsal, kita perlu mengena nama dalam permisalan.

~#~

[2.16] Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.

1. Ungkapan "membeli kesesatan" (isytarudh dhalaalata), bagi awam, adalah perumpamaan yang diambil dari Alam Aj'al. Demikian juga "perniagaan" (tijarah). Akan tetapi kata "al-huda" (petunjuk) menujukkan justru sebaliknya, bahwa Alam Aj'al lah yang mengambil permisalan itu.

2. Kata "syatara" berasal dari "syara" yang artinya "membuka jalan" atau "memperlebar (pemahaman)". Kata "syar'i" diambil dari sini jg, dan difahami sebagai "jalan". Kata "tijarah" berasal dari "ajr", upah. Jelas kata-kata ini bukan dari Alam Aj'al.

[2.17] Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.

3. Orang menyalakan (berupaya menyalakan, istauqada) api adalah pengalaman di Alam Aj'al. Akan tetapi "api itu menerangi sekelilingnya" tidak mudah difahami akal dari orang yang menyalakan api itu. Yang meneranginya adalah cahaya (nur), bukan api. Nah, Allah lah yang menjadikan cahaya dari api, dan Dia juga dapat menghilangkan cahaya itu. Allah mengeluarkan panas dari tapi bukan berarti api selalu panas, seperti halnya api yang dimasuki Ibrahim as. Memakan makan tidak selamanya kenyang, seperti Muawiyah yang makan tapi tidak pernah kenyang. Keadaan yang demikian agak sulit dipikirkan. Akan tetapi Yunani Kuna telah menunjukkannya dalam riwayat Tantalus dan Midas. Orang miskin sulit membayangkan bahwa orang kaya itu bisa juga tidak bahagia.

4. Kehidupan di dunia umumnya seperti itu. Para artis banyak mengucap "alhamdulillah", "semoga banyak rizqi", dan rajin pergi haji atau umrah, tapi tidak memikirkan bahwa yang mereka tunaikan itu adalah "api yang dihilangkan cahanyanya".

[2.18] Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).

5. Ayat sebelumnya telah memperkenalkan nama "nur" yang simetrisasinya di Alam Aj'al adalah cahaya. Tuli, bisu, dan buta dalam ayat ini bukan terhadap (gelombang) cahaya melainkan terhadap "nur". Ayat ini dan ayat sebelumnya adalah permisalan dari "al-nur".

[2.19] atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir.

6. Hujan lebat diterjemahkan dari "shaib". Ia merupakan perumpamaan dari "al-maa-a", air yang turun dari langit. Ditulis "aw kashayyibin minas samaa-i" juga memperkenalkan nama "al-samaa-i", yaitu langit. Dan "al-samaa-i" ini tepatnya (bukan sekedar permisalan) untuk kelak "al-samaa-i maa-a", langit yang menurunkan air.

7. Keadaan gelap gulita dengan guruh dan kilat menunjukkan keadaan tuli, bisu, dan buta.

[2.20] Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jika Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.

8. Keadaan ini terjadi di Alam Aj'al. Dan Allah aw memperkenalkannya demi memudahkan manusia menuju Alam Amtsal.

9. Perlu diingat bahwa istilah Alam Amtsal adalah suatu "penyelewengan" karena keterlupaan manusia. Akan tetapi kita telah meluruskan ia menjadi sesuatu yang "sesungguhnya" yang justru Alam Aj'al lah yang adalah permisalannya. Nama yang sesungguhnya dari Alam Amtsal adalah Alam Anwar, Alam Cahaya-cahaya.
 
 

Ayat-ayat Ta'wil Psikosimetri (4): Nama di Alam Anwar

[2.28] Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?

1. Sebagai permisalan, ungkapan "padahal kamu tadinya (hampir) mati, lalu aku menyelamatkan kamu, kemudian kamu (hampir) mati lagi, dan aku menyelamatkan lagi kamu" tidak asing. Seorang tuan malah mungkin berkata kepada budaknya seperti ayat di atas.

2. Sebagai pengasuh, seorg ayah atau wali dapat berkata serupa itu dan, dalam satu arti, dapat lebih dari sekedar perumpamaan. Dan ayat di atas, meski tidak tampak jelas, akan tetapi jelas menuju kepada pengenalan Allah sebagai Wali. Pada saatnya akan kita jelaskan kelak.

3. Pada ayat ini dituluskan kata "Allah" dalam "takfuruuna billahi" dikaitkan dengan "tsumma ilaihi turja'un" (kemudian kepadaNya kamu dikembalikan). Kata "Allah" berasal dari "ilah" yang diberikan kata sandang "al" menjadi "al-lah" atau "Allah". Kata "Allah" ini jelas tidak difahami, seperti juga kata "al-samaa-i". Sedangkan perbuatan yang "diperumpamakan" itu dapat difahami, ia dapat terjadi di Alam Aj'al, dapat dibenarkan atas seorang wali. Maksudnya, kata "ilaihi" memang merujuk kepada "Allah", akan tetapi ditunaikan oleh seorang wali.

4. Sebetulmnya tidak mudah juga untuk membuktikan bahwa "Allah" lah yang menunaikan "menghidupkan, mematikan, dan menghidupkan lagi". Yang mudah dibayangkan adalah dari seorang wali, meskipun terasa juga terlalu berlebihan. Akan tetapi dapat diterima akal apabila itu adalah seorang "super wali". Adakah sang "super wali" ini? Simpan sajalah di dalam benak kita bahwa, sekiranya ia ada, maka sang "super wali" itulah yang akan menunaikan raja'ah, kebangkitan kembali pada yaumid diin yang saatnya akan kita bahas juga.

5. Sekiranya ra'ajah yang demikian itu benar adanya, sedangkan ia terasa sulit di Alam Aj'al, maka itulah kita diantak menuju Alam Anwar. Raja'ah termasuk perkara yang difahami di Alam Anwar.

[2.29] Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.

6. Tidak digunakan kata "Allah" melainkan "huwa", Dia. Dia lah yang menciptakan (khalaqa) segala sesuatu di bumi. Ada kata "maa" (apa saja) dan "jami'an" (segalanya). Ada dua "pengaruh modern" yang membuat kita kehilangan kesantunan yang menghambat penerimaan pesan dari ayat ini. Disebutlah Bill Gates menemukan segala sesuatu yang ada di dalam industri komputernya, padahal tidak demikian. Untuk suatu "kepentingan praktis", nama "Bill Gates" diperlukan. Beberapa orang beranggapan bahwa saya memperkenalkan ilmu kepada anak-murid saya, padahal saya tahu bahwa justru saya sering kali belajar dari mereka. Untuk suatu "kepentingan praktis", nama saya lah yang disebut, akan tetapi saya sendiri mengakui kecerdasan beberapa anak-murid saya yang, apabila saya ditanya, akan saya sebutkan mereka. Allah sendiri tidak menyingkirkan jasa seorang ayah atau seorang ibu dari "menghidupkan, mematikan, dan menghidupak kembali" anak-anaknya. Hal yang demikian mulai digilas oleh pengaruh zaman tatkala uang dapat membayar jasa.

7. Uang dapat menghapus catatan jasa. Catatan jasa juga dihapus karena tidak ingin diaku, yaitu karena dengki. Padahal, dalam ayat ini, Allah menciptakan "segala sesuatu". Maka tidak mustahil bagiNya untuk menciptakan seorang "super wali". Akal manusia selalu berbenturan dengan realitas ini: Allah dapat menciptakan "super wali", akan tetapi kedengkian menolaknya.

8. Mari kita bertanya, "Adakah Alam Anwar itu?" Pertanyaan ini dijawab oleh jawaban atas pertanyaan, "Adakah kita menerima suatu nama sebagai nama dari Alam Anwar?" Para penganut madzhab takfir (madzhab yang kerjana mengkafirkan) menjawab tegas, "Tidak!" Yang tidak mereka sadari adalah bahwa justru kepada mereka lah Allah bertanya dalam ayat sebelumnya, "Mengapa kamu kafir kepada Allah...?"

8. Ungkapan "dan Dia berkehendak menuju langit" (tsumma istawaa ilas samaa-i) lebih tepat adalah "kemudian berusaha mencapai kesempurnaan langit". Yang berusaha adalah "hunna" (mereka) dalam kalimat berikutnya, "fa sawwaa hunna sab'a samaawaat", yaitu "al-ardhi", bumi, maksudnya "segala sesauatu di bumi". Ini bermakna bahwa simetrisasi "al-samaa-i" dipecah, diterobos, memecahkan tempurung akal atau langit kosmologis yang membatasi pemahaman akal.

9. Kelihatannya menyulitkan. Tapi sesungguhnya tidak. Kata "sawaa" dapat difahami sebagai manusia lebih sempurna daripada binatang, orang yang sudah baligh lebih sempurna daripada yang masih bocah. Seorang mu'min ingin masuk surga, ia lebih sempurna daripada seorang fasiq. Tidak sulit, karena ini merupakan realitas kehidupan kita.

10. Karena itulah sehingga kata "aliim" dalam "wa huwa bi kulli syai-in 'aliim" (dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu) menunjukkan bahwa ilmu dapat diperoleh oleh siapa saja melalui pengalaman sekiranya ia ingin menyempurnakan dirinya dengan cara keluar dari pengalaman simetrisasi.

11. Pengalaman adalah dari "diri yang mengalami", diri yang merubah "dirinya sendiri", diri yang ingin mencari simetri agar keluar dari simetrisasi. Dari sinilah kata "psikosimetri" berasal, dan ia tiada lain adalah "tazkiyatun nafs" (penyucian diri).
 
 

Ayat-ayat Ta'wil Psikosimetri (5): Nama di balik Simetri

[2.24] Maka jika kamu tidak dapat membuat (nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat (nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.

1. Kejadian di Alam Aj'al, apabila digunakan untuk menarik suatu hukum atau simetri, dapat membawa kita kepada kekafiran. Hukum semacam ini hanyalah simetrisasi.

2. "Al-naar" menjadikan "naar" menjadi "api yang sesungguhnya". Api dalam ayat 2:17 hanyalah "naar", api di Alam Aj'al, permisalan dari "al-naar" di Alam Anwar. Di Alam Aj'al, kita bersusah payah menyalakan api, dan mustahil menyalakannya dengan bahan bakar "manusia dan batu".

3. Ilmu fisika yang kita belajar hanya menghasilkan hukum yang keliru, bukan simetri melainkan simetrisasi. Apa daya kita? Masalah kita bukan sekedar mencari "simetri api", melainkan mencari simetri dari ketak-berdayaan kita, mencari simetri yang paripurna, General Symmetry. Dan simetri dari segala simetri untuk masalah ketak-berdayaan adalah berserah diri, pasrah, atau muslim.

4. Menusia "makhluk pelupa" membutuhkan peringatan keras berupa al-naar. Pemahaman dinamor-duakan. Ketakutan adalah simetri-diri, sesuatu yang khas dari psikosimetri.

[2.25] Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.

5. Ada "al-anhaar", sungai-sungai yang, akan kita lihat, ia dugunakan oleh Fir'aun (43:51) yang mengklaim sebagai miliknya, raja yang mengaku dirinya sebagai "rabb". Maka Allah mengambil kembali kepemilikan "al-anhaar" itu. Klaim Fir'aun ini meliputi "segala sesuatu" sebagai konsekuensinya sebagai "rabb". Kalau yang dimaksud adalah sungai sebagai fisik, maka mustahil ibunya Musa as melepaskan Musa as di sungai. Ibunya Musa as sendiri menyebut sungai dengan "al-yam" (20:39, 28:7).

6. "Al-anhaar" adalah sesuatu dari Alam Anwar yang diratifikasi di Alam Aj'al. Sebaliknya, "al-naar" adalah "api yang sebenar-benarnya" (Alam Anwar) yang permisalannya di Alam Aj'al adalah "naar". Manusia tidak membutuhkan peringatan tentang panasnya api untuk sekedar rasa panas. Kata "naar" (api di Alam Aj'al) sendiri lebih tepat untuk mengenang "nuur", cahaya. Mengucap "naar" terasa menyesakkan, sementara mengucap "nuur" melegakkan.

7. Allah "menyembunyikan" kata "nuur" ini di dalam kata "al-anhaar". Al-anhaar adalah suatu sumber yang menghidupkan surga. Ia dibentuk oleh huruf-huruf "nun" dan "ra" yang dipisahkan oleh huruf "ha" dada. Dapat dipikirkan bahwa huruf "ha" dada memisahkan "nuur" menjadi "al-anhaar", yaitu sesuatu yang menyerupai materi. "Nuur" dalam perannya adalah menghidupkan, dan dalam wujud sosok adalah "al-anhaar" itu sendiri. Pikirkan bahwa ia tiada lain adalah sang "super wali".

8. Kata "basyir" tidak membutuhkan upaya, sekedar "sampaikan saja". Diterjemahkan menjadi "sampaikan berita gembira" karena kalau diikuti, sungguh menggembirakan. Dan secara psikologi, "basyir" sebagai "berita gembira" hanyalah bagi "orang yang tiada berdaya". "Basyir" memang hanya untuk muslim.

9. Ungkapan "disediakan surga" berasal dari "jannatin tajri". Ayat sebelumnya yang menyebutkan "al-naar", maka ayat ini masih menyebutkan "jannah", belum menyebutkan "al-jannah". Ungkapan "jannatin tajri" ini sekedar perbandingan kepada "fa maa rabihat tijaaratuhum" (maka tidak beruntung perniagaan mereka) dalam ayat 2:16. Kita sekedar digiring kepada simetri "jannatin tajri".

10. Apa itu sesuatu yang semisal "jannatin tajri"? Yaitu untuk memperkenalkan "al-anhaar" (sungai-sungai) melalui "min tahtihal anhaar" (yang ada di bawahnya sungai-sungai). Di Alam Aj'al, sungai-sungai lah yang menjadi sumber air yang menumbuhkan pohon-pohon yang menghasilakn rizqi berupa buah-buahan (tsamaraat). Akan tetapi "ilmu" mengenainya masih dalam pencarian, karena mustahil kita dapat menelusuri butiran-butiran air yang mengalir dari sungai terus hingga menghasilkan buah.

11. Ungkapan "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu" diterjemahkan dari "haadzalladzii ruziqnaa min qablu", sedangkan penggalan "wa utuubihii mutasyaabihaa" tidak diterjemahkan, karena memang sulit diterjemahkan tanpa latar belakang simetri. Setidaknya dua hal yang menyulitkan penterjemahan, yaitu "hi" (dia) dalam "wa utuubihi" (dan didatangi dengannya), dan "mutasyaabiha" (sembunyi-sembunyi).

12. Membayangkan sang "super wali" mendatangi kita secara sembunyi-sembunyi adalah sulit. Akan tetapi mudah dibayangkan bahaya sang "super wali" inilah yang menjaga keberlakuan hukum "jannatin tajri". Ketika kita melakukan perniagaan, "fa maa rabihat tijaaratuhum" sangat mungkin kita merugi sehingga kita butuh penjagaan. Demikian jugalah "jannatin tajri" adalah dari suatu perjanjian yang dijaga oleh sang "super wali" itu, "al-anhaar".

Keterangan:
Baca ayat-ayat 2:26-27 dan bandingkan dengan penjelasan di atas.
 
 

Ayat-ayat Ta'wil Psikosimetri (6): Simetri di balik Nama

[2.30] Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".

1. Allah menggunakan kata "jaa'ilun", menjadikan, yaitu mengalih-fungsikan setelah mencipta. Yang menarik adalah kata "khalifah", tampak bahwa inilah yang belum difahami malaikat. Dan yang tidak difahami bukan "perwakilan", karena toh malaikat sendiri adalah "wakil" dalam urusan yang telah ditetapkan. Yang tidak difahami adalah "pergantian", beranak-pinak, sesuatu yang tidak ada pada malaikat.

2. Perkara ini terjadi juga di Alam Aj'al, misalnya, ketika seorang lelaki berkata, "Aku ingin kawin lagi." Istri dan anak-anaknya bertanya dengan berbagai alasan, "Bukankah kami sudah cukup untukmu?"

3. Pada kejadian di Alam Aj'al, maka malaikat adalah "para penguasa dalam urusannya". Yang dimaksud dengan urusannya adalah dalam langit kosmologisnya. Misalnya, sebaik apapun anak-anaknya, akan tetapi dokter mengatakan bahwa mereka mengandung suatu penyakit bawaan dari ibu mereka, maka menikah untuk memiliki anak lagi adalah wajar. Seorang pemilik perusahaan yang untung besar tiba-tiba mengalihkan seluruh investasinya kepada perusahaan baru lantaran adanya kabar bahwa langganannya akan guling tikar beberapa tahun lagi, juga adalah hal yang biasa. Orang-orang yang berkuasa secara terbatas dalam urusannya akan bertanya-tanya.

[2.31] Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!"

[2.32] Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

[2.33] Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini". Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?"

4. Ada pandangan "remeh" dalam ayat sebelumnya, yaitu "al-dimaa-a", darah. Dan Allah menyempurnakan "al-dimaa-a" menjadi "Aadam" melalui mengajarkan "asma", nama-nama.

5. Sebetulnya, untuk sekedar menjawab, tidaklah sulit. Yang sulit atau yang tidak diketahui oleh malaikat, dan itu terkait dengan "khalifah", adalah ketika Allah berfirman, "Anbi-uunii bi asmaa-ihaa..." Kata "anbi-uuni" (kabarkan kepadaku) ini mengisyaratkah adanya "nabi" atau "anbiya" dari "khalifah" itu, inilah yang tidak diketahui malaikat. Adam as sebagai khalifah adalah beranak-pinak melahirkan para nabi.

[2.34] Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.

6. Dari "al-dimaa'a" menjadi Adam, dan dari "basala" menjadi "iblis".

[2.35] Dan Kami berfirman: "Hai Adam diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang lalim.

7. Digunakan kata "uskun", tenanglah, jangan tergoda. Demikian demi melahirkan "khalifah". Allah memasukkan keduanya di "al-jannah", taman, atau surga fisikal. Syaratnya adalah tenang, dan untuk itu "jangan dekati pohon", agar tidak tergoda syahwat. Segalanya sudah tersedia, dan cukup dengan syariat "jangan", itupun hanya satu: jangan dekati pohon.

8. Bandingkan "al-jannah" (fisikal) dan "janna" (suasana), maka kita dapat membuat anak dengan menyiapkan secara baik sejak di dalam sulibi, dan seterusnya hingga lahir, niscaya anak itu mendiami suasan "janna". Yang membedakan kita dengan Adam as hanya "al" pada "al-jannah", karena beliau as adalah seseorang yang akan menjadi nabi. Bedanya nabi dari selainnya adalah adanya "sesuatu yang lain".

[2.36] Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan".

[2.37] Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.

[2.38] Kami berfirman: "Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati".

[2.39] Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

9. Ayat-ayat ini dan ayat-ayat sebelumnya akan mengantarkan kita kepada ta'wil yang mencengangkan...

Allahumma shalli 'ala Muhammad wa ali Muhammad wa 'ajjil farajah wanshur
man nasharah warham Imamal Khumeini wahfadh qaidana 'Ali Khamene'i
waj'alna min ansharil Hujjahal Mahdi af

Tidak ada komentar: